Penyakit Batu Empedu (Kolelithiasis)


Batu Empedu (Kolelithiasis)

Penulis : Johanes Andrew, S.Ked & Helen Limarda, S.Ked

Pendahuluan

Penyakit batu empedu merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di negara barat. Di Amerika Serikat, prevalensi penyakit batu empedu pada wanita (20%) lebih tinggi dibanding pria (8%) pada kelompok usia 40 tahun dan wanita mengalami peningkatan prevalensi hingga 40% pada usia 65 tahun. Di negara berkembang, prevalensi penyakit batu empedu pada orang dewasa sekitar 10-15%.1,2,3

    Batu empedu dapat terbentuk karena abnormalitas dari komponen cairan empedu dimana dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu kolesterol ditemukan pada sebagian besar kasus (80%) dan komposisinya sendiri terdiri dari >50% kolesterol monohidrat dengan campuran garam kalsium, pigmen empedu dan lain-lain. Di sisi lain, Batu pigmen ditemukan pada 20% kasus dan komposisinya terdiri dari <20% kolesterol monohidrat.1,2,4

Tiga Faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol :1,2

1. Hipersaturasi Kolesterol dalam Kandung Empedu

Hipersaturasi kolesterol dapat terjadi akibat peningkatan sekresi kolesterol pada kandung empedu yang dapat terjadi pada pasien-pasien obesitas, diet tinggi kalori, tinggi lemak maupun obat-obatan seperti klofibrat.

2. Percepatan Terjadinya Kristalisasi Kolesterol

Percepatan kristalisasi kolesterol pada kandung empedu dapat terjadi akibat dari faktor pronukleasi yang berlebihan (Mucin, non-mucin glikoprotein, immunoglobulin) atau defisiensi dari faktor antinukleasi (Apolipoprotein AI dan AII).

3. Gangguan Motilitas Kandung Empedu dan Usus

Sebagian besar pasien dengan batu empedu memiliki kelainan pengosongan kandung empedu (hipomotilitas kandung empedu) yang menyebabkan tidak terbuangnya cairan empedu yang sudah terkristalisasi sehingga batu dapat terbentuk pada kandung empedu.

    Pembentukan batu pigmen sendiri terjadi karena adanya infeksi dan stasis saluran empedu, malnutrisi dan faktor diet. Batu pigmen terdiri dari batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat dimana komposisi batu pigmen hitam terdiri dari kalsium birilubinat murni atau polymer-like complexes dengan kalsium dan mucin glikoprotein sedangkan batu pigmen coklat terdiri dari garam kalsium dengan birilubin tak terkonjungasi dan campuran dari protein dan kolesterol.1,2

    Batu pigmen hitam lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki keadaan hemolitik kronik (peningkatan bilirubin konjungasi), sirosis hati, sindrom Gilbert dan kistik fibrosis. Batu pigmen coklat dapat terbentuk karena adanya peningkatan bilirubin tak terkonjungasi. Aktivitas β-glucoronidase dari bakteri maupun dari dalam tubuh (endogen) akan mengubah bilirubin menjadi bilirubin tak terkonjungasi sehingga memiliki peran terhadap pembentukan batu pigmen coklat.2

Diagnosis

Pada anamnesis, keluhan yang dirasakan pasien adalah kolik bilier dimana keluhannya berupa nyeri perut kanan atas yang berlangsung lebih dari 30 menit sampai 5 jam setelah makan makanan berlemak atau konsumsi makanan dalam jumlah besar diikuti dengan puasa berkepanjangan atau setelah konsumsi porsi makanan normal. Lokasi nyeri dapat di perut bagian atas atau epigastrium namun dapat juga dijumpai nyeri pada bagian kiri dan prekordial. Pasien juga dapat mengeluh adanya rasa penuh dibagian epigastrium maupun dispepsia setelah makan makanan berlemak namun keluhan ini tidak spesifik untuk mendiagnosis batu empedu.1,2,4

     Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri pada letak anatomis kandung empedu, Murphy sign (+) dan jika batu telah berpindah ke duktus koledokus, hal yang dapat ditemukan adalah hati teraba agak membesar dan sklera ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium, jika pasien asimtomatik maka tidak ada kelainan pada pemeriksaan lab sedangkan pada pasien yang mengalami peradangan akut dapat terjadi leukositosis, peningkatan fosfatase alkali dan amilase serum.1,2,5

    Diagnosis paling akurat untuk batu empedu adalah dengan menggunakan pemeriksaan radiologi (USG). USG memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu. Gambaran USG dari batu empedu adalah adanya gambaran batu dengan posterior acoustic shadow. Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan foto polos abdomen, namun foto polos abdomen tidak memberikan gambaran yang khas dan hanya 10-15% batu empedu yang bersifat radioopak.1,2,5,6


Gambar 1. Gambaran USG normal dan Batu empedu1


Tatalaksana

Tatalaksana batu empedu dibagi menjadi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa. Tatalaksana medikamentosa adalah sebagai berikut :1,2,6

1. Oral Dissolution Therapy

Obat yang digunakan untuk terapi disolusi oral adalah asam ursodeoxycholic (UDCA) yang berfungsi sebagai penghambat nukleasi kristas kolesterol. UDCA digunakan untuk batu <5mm dengan fungsi kandung empedu yang masih baik dengan dosis 8-10 mg/kg/hari dan terapi UDCA ini hanya digunakan untuk terapi batu kolesterol 

2. Pain Control

Obat yang digunakan untuk mengontrol nyeri kolik adalah obat-obatan NSAID atau arcotic pain relievers. NSAID lebih direkomendasikan untuk pasien karena secara garis besar efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit.

    Tatalaksana non-medikamentosa batu empedu adalah terapi bedah dimana gold standart terapi bedah untuk batu empedu simtomatik adalah Laparoskopik kolesistektomi dan terapi alternatif yang non-invasif adalah menggunakan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL).6

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya batu empedu antara lain :7,8

  1. Menghindari makanan tinggi lemak jenuh (daging, olahan susu, telur, minyak kelapa sawit)
  2. Menjaga berat badan dengan diet gizi seimbang dan berolahraga 
  3. Menghindari low-calorie diet dan penurunan BB dengan cepat

Daftar Pustaka

  1. Longo D, Fauci A, Fauci A, Langford C, Harrison T. Harrison's Gastroenterology and Hepatology, 2nd Edition. Blacklick: McGraw-Hill Publishing; 2013.
  2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 6. Jakarta: InternaPublishing;2014.
  3. Zhu L, Aili A, Zhang C, Saiding A, Abudureyimu K. Prevalence of and risk factors for gallstones in Uighur and Han Chinese. World J Gastroenterol. 2014 Oct 28; 20(40): 14942–14949.
  4. Kasper DL, Hauser SL, Jameson LJ, Fauci AS. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th edition. New York: McGrawHill Education; 2015.
  5. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Sistem Organ dan Tindak Bedahnya 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017.
  6. Abraham,Sherly. Surgical and Nonsurgical Management of Gallstones. 2014. Available from:  https://www.aafp.org/afp/2014/0515/p795.html
  7. National Health Service. Gallstone prevention. 2018. Available from : https://www.nhs.uk/conditions/gallstones/prevention/
  8. Nix S. William’s basic nutrition and diet theraphy 15th edition. St. Louis, Missouri : Elsevier; 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Intoksikasi Benzodiazepine

Pterygium

Peritonitis Bakterial Spontan