Pterygium
Pterygium
Penulis : Johanes Andrew, S.Ked & Helen Limarda, S.Ked
Apa itu pterygium ?
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif yang biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah dan dapat mengenai kedua mata.1,2,3
Prevalensi pterigium dilaporkan 3% di Australia, 23% di kulit hitam di Amerika Serikat, 15% di Tibet di Cina, 18% di Mongolia di Cina, 30% di Jepang dan 7% di Singapura Cina dan India. Di Indonesia sendiri, berdasarkan RISKESDAS 2013, insidens pterygium berbeda tiap provinsi dimana secara nasional prevalensi pterygium adalah 8.3% dimana Prevalensi pterygium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah, yaitu 3,7%, diikuti oleh Banten 3,9%.4,5,6
Bagaimana pterygium bisa terjadi ?
Pterigium adalah kondisi degeneratif jaringan subkonjungtiva yang berproliferasi
sebagai jaringan granulasi avaskularisasi yang masuk ke kornea dan merusak
lapisan superfisial stroma dan membran Bowman. Ditandai dengan opasitas yang
terletak jauh di bagian kornea yang berdekatan di depan puncaknya yang tumpul. Lesi
muncul sebagai konjungtiva vaskularisasi tebal yang tumbuh ke kornea dari
canthus dan melekat secara longgar di seluruh panjangnya ke sklera, area
perlekatan selalu lebih kecil daripada lebarnya sehingga ada lipatan di batas
atas dan bawah. Pembentukan jaringan fibrosa padat mengarah pada perkembangan
astigmatisme kornea yang cukup besar. Kondisi ini biasa terjadi di iklim cerah
kering dengan tanah berpasir seperti di beberapa bagian Australia, Afrika
Selatan, Texas, Timur Tengah dan Asia Selatan dan Tenggara. Sinar ultraviolet
mungkin merupakan faktor etiologi.1
Faktor resiko utama pterigium adalah paparan
sinar ultraviolet kumulatif karena pekerjaan di luar ruangan. Faktor lain yang
terkait dengan perkembangan pterigium adalah usia, jenis kelamin dan memiliki
mata kering. Pterigium jarang terjadi pada usia dibawah 20 tahun, lebih sering
ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun dan insidens tertingginya berada di
usia 20-40 tahun. Pterigium juga dilaporkan terjadi pada pria dua kali lebih
sering daripada wanita.4,5
Apa saja tanda dan gejala dari pterygium ?
Gejala yang dapat timbul pada pasien pterygium adalah iritasi dan rasa berpasir disebabkan oleh efek dellen – pengeringan lokal – pada tepi yang maju karena gangguan pada lapisan air mata prekornea (lebih mungkin jika kepala pterigium sangat tinggi) namun pterygium pada sebagian besar lesi kecil tidak menunjukkan gejala. Pada pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami gejala iritasi pada tahap awal karena pengangkatan tepi. Lesi pterygium juga dapat mengganggu penglihatan dengan mengaburkan sumbu visual atau menyebabkan astigmatisme dan mungkin ada peradangan intermiten mirip dengan pingueculitis. Selain itu, pasien juga datang atas masalah kosmetik.2,3,7
Tanda yang dapat ditemukan pada pasien pterygium adalah sebuah pterigium terdiri dari tiga bagian: “topi” (zona seperti halo avaskular di tepi depan), kepala dan badan. Deposisi besi epitel linier (garis Stoker) mungkin terlihat pada epitel kornea anterior ke kepala pterigium. Pulau Fuchs adalah bintik-bintik kecil berwarna keputihan yang terdiri dari kelompok sel epitel pterigial yang sering muncul di tepi yang maju.2,3,7
Gambar 1. Tiga Bagian Pterygium (“topi”, kepala
dan badan)3
Bagaimana tatalaksana dan pencegahan pterygium ?
Pada awal proses penyakit dapat
dilakukan pendekatan
konservatif. Karena
radiasi UV diyakini sebagai faktor risiko penting, sehingga
dapat direkomendasikan
pasien dengan pterigium tahap awal menggunakan kacamata pelindung yang tepat dan terapi
pada obat-obatan lubrikasi. Jika lesi tumbuh, intervensi bedah menjadi lebih dipertimbangkan
dan jika lesi pterygium agresif maka dapat dilakukan tindakan bedah yang lebih
agresif. Pterigium yang lebih besar dari 3 mm dapat menyebabkan beberapa
astigmatisme, dan intervensi mungkin diperlukan dalam kasus seperti ini.1,7,8
Terapi bedah
yang dapat dilakukan antara lain :7,8
1. The Bare Sclera
Technique
Teknik ini melibatkan pemotongan kepala
dan badan pterigium dan membiarkan scleral bed untuk re-epitelisasi.
Teknik ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi, antara 24 % - 89 %.
2. Conjunctival Autograft
Technique
Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan penjahitan
graft di atas scleral bed yang terbuka setelah eksisi pterigium. Tingkat
kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan setinggi 40% dalam beberapa studi
prospektif.
3. Amniotic
Membrane Grafting
Amniotic membrane grafting juga telah
digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun mekanisme yang tepat
dimana membran amnion memberikan efek menguntungkannya belum diidentifikasi,
sebagian besar peneliti telah menyarankan bahwa membran basal yang mengandung
faktor-faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
mempromosikan epitelisasi. Tingkat kekambuhan sangat bervariasi di antara
penelitian yang ada, di suatu tempat antara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk pterigia berulang.
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan dengan demikian terapi adjuvan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterigium. Terapi adjuvan yang dapat diberikan antara lain :8
1. MMC
MMC telah digunakan sebagai
pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya
mirip dengan iradiasi beta. Namun, tingkat dosis minimal yang aman dan efektif
belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan adalah aplikasi
intraoperatif MMC langsung ke scleral bed setelah eksisi pterigium, dan
penggunaan tetes mata MMC topikal pasca operasi.
2. Beta
Irradiation
Iradiasi beta telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel pterigium yang membelah
dengan cepat, meskipun tidak ada data tingkat kekambuhan yang jelas. Namun,
efek samping dari iradiasi termasuk nekrosis dan pencairan sklera,
endophthalmitis dan pembentukan katarak.
Follow up
yang dapat dilakukan pada pasien pterygium adalah :7
1. Pada pasien
asimtomatik dapat dilakukan check-up setiap 1-2 tahun.
2. Pterygia
harus diukur secara berkala (setiap 3 sampai 12 bulan, awalnya) untuk
menentukan tingkat di mana mereka tumbuh ke arah sumbu visual.
3. Jika
mengobati dengan steroid topikal, periksa setelah beberapa minggu untuk
memantau peradangan dan TIO dan dilakukan tappering off beberapa minggu setelah
peradangan mereda.
Kegiatan pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain menghindari faktor risiko lingkungan seperti sinar matahari, angin
dan debu dengan memakai sinar UV yang melindungi kacamata hitam dan topi dapat
mencegah perkembangan pterigium. Tindakan perlindungan ini dapat membantu
mencegah kekambuhan pterigium setelah operasi. Demikian pula, pemakaian
peralatan keselamatan mata dianjurkan di lingkungan yang terpapar polutan kimia
sebagai tindakan pencegahan pterigium.5
Apa saja komplikasi yang dapat terjadi serta prognosis dari pterygium ?
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain adalah terjadinya rekurensi, corneal
scarring, perforasi kornea, strabismus, non-healing epithelial defect
dan scleral melt. Komplikasi pasca operasi akhir
radiasi beta pterygium meliputi scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia
dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Tingkat kekambuhan bisa serendah 1 dalam 1000 tergantung pada
pendekatan bedah. Cacat pada lapisan Bowman sering terjadi akibat eksisi bedah
karena keterlibatan lapisan Bowman oleh lesi, dan astigmatisme residual ringan
mungkin ada meskipun operasi berhasil. Prognosis visual biasanya sangat baik
dan hanya dibatasi oleh kornea jika lesi yang dipotong melibatkan sumbu visual.9
- Sihota R, Tandon R. Parsons’ Diseases of the Eye 22nd edition. New Delhi: Elsevier Ltd. 2015.
- Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata, edisi 5. Jakarta:Badan Penerbit FKUI. 2015.
- Browling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th edition. Elsevier. 2015
- Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Medscape. 2015. Available from :https://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
- Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community Eye Health. 2017; 30(99): S5–S6.
- Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2013. Available from: https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf
- Bagheri N, Wajda BN, editors. The wills eye manual. 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2017.
- Singh R, Liang D. Management of pterygium. American Academy of Opthalmology. 2021. Available from : https://www.aao.org/eyenet/article/management-of-pterygium-2
- Caldwell M, Nallasamy N. Pterygium. American Academy of Opthalmology. 2021. Available from : https://eyewiki.aao.org/Pterygium
Komentar
Posting Komentar